SANGIRAN WARISAN DUNIA YANG TERANCAM
Dibangunnya menara pandang dan tempat pembuangan akhir sampah di zona inti dan bagian lain situs Sangiran melahirkan "perseteruan" antara bupati Sragen, Jawa Tengah, dan para arkeolog. Padahal, Sangiran itu situs Warisan Dunia yang merupakan laboratorium alam kelas dunia dan penyumbang fosil sebesar 50% dari seluruh temuan fosil di dunia. Bagaimana nanti nasib balung buto?Konflik pelestarian situs Sangiran antara Bupati Sragen Untung Wiyono dengan kalangan arkeologi belum lama ini sempat melambungkan kembali nama Sangiran. Bagi pencinta kepurbakalaan, khususnya kalangan arkeologi dan paleoantropologi, Sangiran memang menjanjikan sejuta impian tentang khazanah pengetahuan sejarah evolusi manusia purba, jika situs ini dilestarikan dengan baik. Sementara sang penguasa wilayah memimpikan "Taman Jurrasic" di situs itu.
"Bangunan menara pandang dan infrastrukturnya itu merusak kelestarian Sangiran," ujar Dr. Truman Simanjuntak, ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Menurut dia, lokasi bangunan menara pandang merupakan zona inti yang bebas dari bangunan permanen. Selain itu, lokasi tersebut punya potensi kandungan fosil hewan atau fosil manusia purba.
Pada 1952 di zona itu ditemukan fosil manusia purba Megatrophus paleojavanicus yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Lagi pula, tak jauh dari bangunan menara pandang, tersingkap pula lapisan tanah atau stratigrafi yang sukar dicari tandingannya di situs-situs lain di dunia, karena kelengkapan struktur stratigrafi berumur 1,8 juta hingga 100.000 tahun itu.
Laboratorium alam
Sangiran memang spektakuler. Tanah tandus dan gersang itu adalah ladang fosil yang tak habis-habisnya dikaji dan diteliti. Tanpa mencangkul pun fosil-fosil bisa mencuat sendiri, terutama setelah hujan turun yang mengikis tanah purba itu.
Secara administratif kawasan cagar budaya ini mencakup empat kecamatan, yakni Kalijambe, Gemolong, Plupuh (Kabupaten Sragen), dan Gondangrejo (Kabupaten Karanganyar), semuanya di Jawa Tengah. Kawasan seluas 56 km2 itu meliputi 155 desa. Sebagian besar penduduknya hidup dalam keterbatasan sebagai petani dan buruh tani.
Sekitar 2,4 juta tahun silam, kawasan Sangiran berupa bukit yang mashyur dengan sebutan dome atau kubah Sangiran. Kubah ini kemudian oleh peristiwa geologis mengalami erosi di bagian puncaknya, sehingga struktur geologi kubah menjadi terbalik seperti sekarang. Oleh karena itu, seluruh pelosok Sangiran, khususnya pada bagian tebing-tebingnya, tampak jelas stratigrafi yang memperlihatkan
Yang paling tua adalah formasi Kalibeng (dua juta tahun). Di sini banyak ditemukan hewan laut, misalnya kerang purba. Berikutnya adalah formasi Pucangan (1,8 juta tahun). Di tempat ini ditemukan fosil manusia purba, tapi paling banyak berupa fosil hewan purba yang sekarang sudah punah, seperti badak, gajah, harimau. Lalu formasi Grenzbank (730 ribu tahun), atau lapisan pembatas. Di sini acap mencuat fosil mamalia purba, gajah, tapir, selain fosil manusia purba. Formasi Kabuh (600 ribu tahun) paling banyak menyimpan fosil manusia purba selain fosil hewan vertebrata. Terakhir, yang termuda, formasi Notopuro (160 ribu tahun) yang terbentuk akibat letusan gunung api, sarat akan fosil hewan mamalia seperti kerbau, kijang atau peralatan manusia purba.
Dari aspek geologis maupun paleoantropologis, kawasan Sangiran memang amat menggoda para ilmuwan du nia. Mereka menyebutnya sebagai laboratorium alam yang tak tertandingi di dunia, sekaligus barometer kajian sejarah evolusi manusia purba. Karena itu, Dobois seorang dokter di zaman Pemerintahan Belanda - sudah lama mencium dan melirik kekayaan perut bumi Sangiran. Guna membuktikan teori tentang evolusi manusia, pada 1893 ahli anatomi itu mendatangi Sangiran, tapi kurang beruntung karena tak menemukan yang dicari. Setahun sebelum kunjungannya ke Sangiran, Dobois menemukan fosil yang dicarinya, yaitu makhluk penghubung antara kera dan manusia di situs Trinil, Ngawi, Jawa Timur.
Sangiran memang pantas diperhitungkan ketika orang berkilah ilmiah tentang teori evolusi
Haeckhel menyatakan, bentuk manusia sekarang merupakan perkembangan dari bentuk primitif (Homo primigenius) yang mashyur disebut dengan mata rantai yang putus; sejenis manusia yang secara fisik mirip kera tanpa artikulasi bahasa. Fosil makhluk peralihan antara kera - manusia berbulu sedikit ini, menurut Haeckel, pasti dapat ditemukan di daerah tropis termasuk di
Betul sekali, sederet pakar paleontologi dari belahan dunia Eropa menyerbu kawasan Sangiran dengan sejuta harapan. Sejak 1919 beberapa nama seperti Martin, Jean Chrefien van Es, dan J. Duy fies von Koenigswald merupakan pemburu fosil yang punya dedikasi tinggi dalam upaya merangkai kesinambungan sejarah evolusi manusia. Ketika Koenigswald berhasil menemukan tengkorak Pithecantrophus erectus pada 1937 di desa Bapang, mata dunia semakin menyorot situs Sangiran.
Mereka berbondong-bondong menyerbu Sangiran, bersaing keras untuk menemukan fosil yang spektakuler dengan cara apa pun. Fosil bagi para pemburu macam Koenigswald adalah segalanya, yang mampu meroketkan reputasi keilmiahannya. Toh tak semua ahli beruntung seperti Koenigswald, yang memang sembilan tahun meneliti Sangiran. Soal beginian, penduduk lokal jagonya. Fakta membuktikan, merekalah penyumbang temuan fosil terbesar dalam percaturan dunia penemuan fosil, karena berburu fosil memang pekerjaan mereka.
Ditetapkan sebagai Warisan Dunia
Kandungan fosil di perut bumi Sangiran sempat membikin iri para peneliti di belahan benua lain, termasuk di Afrika. Situs homined (hunian manusia purba) terlengkap ini tak habis-habisnya dikaji dan diteliti. Hasilnya memukau dunia ilmu pengetahuan, khususnya sejarah evolusi manusia. Meski agak terlambat, sejak 15 Maret 1977 kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Benda Cagar Budaya yang dilindungi undang-undang melalui SK Mendikbud.
Tabir kegelapan sejarah evolusi manusia dari bentuknya yang primitif dapat terkuak di perut kubah Sangiran. Selain fosil hewan dan manusia purba, alat-alat kehidupan manusia purba juga dapat ditemukan, antara lain berupa kapak genggam, batu pelempar, batu pukul, serut, dan bilah. Dari sini orang bisa mempelajari cara-cara hidup mereka. Berburu dan mengumpulkan makanan menjadi kesibukan sehari-hari manusia prasejarah ini.
Sebagai laboratorium alam dan pusat kajian evolusi manusia di dunia, sejak 1985 Sangiran diusulkan masuk ke dalam World Heritage. Namun, prosesnya memang tidak gampang. Baru tahun 1996 Sangiran diakui sebagai warisan dunia. Situs Sangiran merupakan situs manusia purba yang memiliki nilai kelas dunia. Situs ini memperlihatkan berbagai aspek evolusi fisik maupun budaya yang natural dalam periode yang sangat panjang. Situs ini akan menjadi sumber informasi tentang evolusi manusia purba dan telah dilestarikan oleh pemerintah
Bahkan, menurut penilaian para ahli, Sangiran memiliki nilai penting yang jauh melebihi beberapa situs sejenis yang telah masuk ke dalam daftar warisan dunia selama ini. Betapa tidak, dari segi kuantitas situs ini telah menyumbangkan fosil sebesar 50% dari seluruh temuan fosil di dunia. Diterimanya Sangiran sebagai World Heritage didasarkan dua kriteria. Satu, Sangiran merupakan situs kunci bagi pemahaman sejarah evolusi manusia di dunia melalui fosil-fosilnya. Dua, situs ini mampu menjelaskan secara runut evolusi manusia sejak pra-manusia dua juta tahun silam hingga Homo sapiens atau manusia modern sekarang ini.
Kemashyuran Sangiran bergema dan terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang. Sayang, Sangiran saat ini menatap masa depannya dengan gamang. Keberadaannya sebagai situs dunia membuat banyak pihak berkepentingan memanfaatkan.
Di sisi lain, tak sedikit orang tahu bahwa Sangiran itu situs penting. Tak pelak, konflik kepentingan pun memanas antara kalangan arkeologi dan pemerintah daerah.
Selain bangunan di zona inti tadi, salah satu kawasan Sangiran mau dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. "Bagaimana mungkin situs dunia akan ditimbuni sampah," ujar kalangan arkeolog menyikapi upaya pengembangan Sangiran oleh pemerintah daerah. Terlihat betapa rapuh sistem pengelolaan benda cagar budaya kita. Kasus Sangiran menjadi semacam petunjuk betapa lemah sense of belonging kita terhadap warisan leluhur.
Siapa sebenarnya pengelola sah warisan dunia itu?
MITOS BALUNG BUTO
Masyarakat Sangiran baru mengenal istilah fosil sekitar tahun 1930-an, sejak daerah itu kedatangan para peneliti bangsa asing. Sebelumnya, mereka menyebutnya balung buto, yang artinya tulang raksasa (balung = tulang, buto = raksasa). Sebutan itu memang sesuai dengan besaran fisik fosil hewan-hewan purba yang sering ditemukan penduduk. Sebagai contoh, ada fosil gading gajah yang panjangnya sampai 1,5 m lebih atau tanduk kerbau sepanjang lebih dari 1 m. Sampai sekarang nama balung buto masih terpatri kuat di benak penduduk, khususnya mereka yang telah berusia renta. Sebab balung buto memiliki makna magis sebagaimana tercermin dalam mitos yang kini samar-samar terdengar.
Alkisah pada zaman dulu kala, di perbukitan Sangiran terjadi perang besar antara para ksatria pimpinan Raden
Sebelum tahun 1930-an, penduduk Sangiran meyakini, balung buto memiliki kekuatan magis yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit (sakit gigi, encok, bisul, atau gigitan binatang berbisa). Caranya dengan menggosok sekerat balung buto ke tubuh yang sakit. Jika penderita sakit perut, pusing atau mual-mual, balung buto cukup direndam dalam gelas lalu diminum setiap pagi hari.
Balung buto memang fenomenal. Bukan hanya bukti otentik yang membuka tabir sejarah evolusi bagi para ahli, melainkan bukti konkret penyembuhan penyakit bagi penduduk. Bahkan, balung buto khususnya untu warak (gigi badak), dipercaya sebagai jimat dan penolak bala. Itu sebabnya pada zaman dulu penduduk sering menggantungkan gigi badak di atas pintu rumah sebagai pengusir setan.
Bahkan, balung buto juga dipercaya sebagai jimat kekebalan. Keyakinan magis satu ini membuat balung buto sering dimanfaatkan para maling dan bandit. Namun, untuk memfungsikannya sebagai jimat kekebalan, orang perlu bantuan dukun mistik. Mirip dengan dukun bayi yang memanfaatkan balung buto sebagai media pelancar ibu-ibu yang akan melahirkan.
Konsep tradisional tentang kepercayaan fosil sebagai materi pengobatan tidak perlu dicari pertanggungjawaban rasionalnya. Sebab, fenomena ini tidak hanya terjadi di Sangiran, melainkan juga di dataran Cina yang konon pakarnya dunia obat-obatan. Khususnya di Cina selatan, fosil diyakini sebagai sisa tulang naga. Tercatat sampai abad ke-18 para sinshe masih memanfaatkan tulang naga itu untuk mengobati berbagai penyakit seperti lever, epilepsi, dan sembelit.
Begitu juga dengan para sinshe di Hongkong. Di sini tulang naga, khususnya gigi-geligi, dicari orang karena diyakini sebagai obat awet muda. Dalam konteks dunia pengobatan tradisional, fosil dibedakan menjadi dua jenis, yaitu liung tse (gigi-geligi naga) yang sangat mujarab dan liung khu (tulang belulang naga) yang tidak begitu berkhasiat. Diperkirakan, fosil dipakai sebagai media penyembuhan sudah mulai sejak dinasti Han, 206 SM.
Comments
Post a Comment
thanks for comment